Harga Kursi Jabatan Dijual antara Rp 60 Juta sampai Rp 350 Juta
KETIKA Bupati Pemalang dicokok KPK karena memperjualbelikan jabatan dan proyek, kata yang pantas untuk dia adalah Bandit. Bayangkan saja, di tengah 124.270 rakyatnya yang tergolong miskin secara ekstrem, masih berani-beraninya korupsi. Moralitasnya sungguh comberan. Bandit Bulukan bener. Sungguh.
Kemiskinan ekstrem, sesuai definisi Bank Dunia adalah kondisi di mana pendapatan per kapita di bawah 1,9 US dolar. Kalau kita terjemahkan, mereka adalah rakyat yang pendapatan rata-rata per harinya Rp 11.000. Intinya, dengan empat orang dalam keluarga, bisa kita bayangkan mereka hanya bisa makan nasi dengan ikan asin. Tiap hari. Bisa jadi kadang, mungkin hanya dengan garam. Buat mereka makan Tempe dan Tahu sudah menjadi hal yang teramat mewah.
Isyu kemiskinan ekstrem mencuat pertama kali dari Kabupaten yang dipimpin bandit bulukan ini. Sejak 2020. Dan kemudian menjadi konsumsi nasional. Setelah, hampir semua media sosial seperti Facebook, twitter dan Instagram mengulasnya.
“Imperium politik yang dibangun kelompok bisnis Dewi Sri melahirkan dinasti politik yang korup.”
Istana pun jadi gerah. Apalagi pada 2021 ternyata di Jawa Tengah ada lima kabupaten yang masuk kategori miskin secara ekstrem. Dan pada 2021 Wakil Presiden pun turun ke Pemalang. Kemudian thema penanggulangan kemiskinan ektrem menjadi program prioritas Jokowi.
Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo, bisa jadi saat itu agak kesal. Libido kurupsinya agak terganjal isyu yang sangat sensitif dan krusial. Karena Pemalang kemudian jadi sorotan publik.
Dalam banyak kesempatan, Mukti selalu menegaskan bahwa prioritas utama adalah kemiskinan ekstrem habis pada 2024. Serangkaian program bantuan memang sempat dieksekusi. Bantuan rumah tinggal layak huni, MCK. Beberapa perusahaan besar di Jateng pun ikut turun tangan melalui program CSR.
Tapi diam-diam, libido korupsi Mukti susah untuk direm. Maka terjadilah peristiwa OTT itu. Tiga Kepala Dinas ikut terseret dalam kasus ini. Ludes sampai supir-supirnya.
Seorang mantan pejabat penting di Tegal, ketika mendengar peristiwa ini berujar,”Sudah kuduga.” Ia menjelaskan gejala korupsinya sudah terindikasi sejak awal pelantikan. Anak pemilik perusahaan PO Bus Dewi Sri ini, menurut mantan pejabat itu, tidak melakukan konsolidasi menyeluruh. Mengakhiri persaingan dan permusuhan dalam proses Pilkada. Bahkan, seperti masih menyimpan dendam.
“Mukti malah sibuk menyingkirkan ASN yang dinilai tidak mendukungnya. Dan membiarkan masuknya tim sukses mengintervensi dalam berbagai kebijakan Bupati,” ujarnya.
IMPERIUM POLITIK DEWI SRI
Dewi Sri adalah perusahaan Bus terbesar di Kota Tegal. Didirikan oleh H Ismail, pria kelahiran Randusanga Kulon Kabupaten Brebes. Ismail kemudian merantau ke Tegal setelah menikah dengan Hj Rokhayah.
Di era 1990an, persaingan bisnis di sektor transportasi makin ketat. Dewi Sri mendapat pesaing dari saudaranya yang mendirikan PO Bus Dedi Jaya dan kemudian disalip oleh PO Bus Sinar Jaya.
Melihat persaingan yang begitu ketat, Hj Rokhayah sebagai pengendali keluarga Dewi Sri, sejak reformasi memutuskan untuk masuk ke dunia politik. Dan targetnya waktu itu jelas; Mengusai jabatan Bupati dan Walikota di Karesidenan Pekalongan.
Langkah Hj Rokhayah mendirikan imperium politik cukup sukses. Anak pertamanya Akmal Jaya berhasil menduduki posisi Walikota Tegal sejak 2003-2013. Tapi Akmal kemudian juga terseret kasus korupsi dan oleh KPK dijebloskan ke penjara.
Setelah Akmal tumbang, Dewi Sri mencoba merebut kursi Bupati Tegal dan Brebes. Di Kabupaten Tegal keluarga Dewi Sri dikalahkan oleh Enthus Susmono. Tapi yang di Brebes Idza Priyanti sukses menduduki kursi Bupati.
Kemudian pada 2020 anak terkecil Hj Rokhayah, Mukti Agung Wibowo sukses merebut kursi Bupati Pemalang. Dilantik pada 2021, dan satu tahun kemudian mesti mengakhiri jabatannya akibat terkena OTT KPK.
Kelompok bisnis Dewi Sri, di Tegal adalah imperium bisnis dengan kekuatan uang yang melimpah. Pertarungan yang berhasil mereka menangi, selalu diikuti oleh aksi jor-joran bagi-bagi duit ke rakyat.
Sekali ikut dalam pertarungan Pilkada, kelompok bisnis Dewi Sri dengan enteng bisa menggelontorkan uang rata-rata Rp 50 miliar. Duit-duit inilah yang wajib kembali setelah anak-anaknya menjabat.
Saat Akmal berkuasa, beredar kencang dugaan permainan proyek dikendalikan oleh Hj Rukhayah. Bahkan saat itu, dugaan ini seperti sudah menjadi rahasia umum.
Di Pemalang, ketika Mukti berkuasa, pola yang sama berjalan. Cuma bedanya, tangan-tangan Mukti ada di tim suksesnya yang menggerpol dinas-dinas.
MENJADI DRAKULA
Bisnis, ketika masuk ke wilayah politik, selalu berujung kejahatan korupsi. Karena dinasti politik yang dibangun kelompok Dewi Sri pada hakekatnya adalah bisnis. Tidak peduli apakah bisnis itu direbut dari pertarungan politik.
Dan bisnis tanpa moralitas yang cukup, ketika masuk ke dunia politik, ujungnya adalah transaksi proyek yang tidak ada ujungnya. Tidak peduli apakah rakyatnya lagi pada susah makan atau tidak. Bisnis dan politik bisa jadi drakula penghisap keringat rakyat. Dihisap sampai kering kerontang. Drakula yang perilakunya akan terus menerus haus darah.
Dan tindak korupsi selalu membawa korban. Bisa jadi teman dan koleganya. Bupati Mukti, menurut KPK telah menerima suap Rp 6,1 miliar. Dan selain Mukti, KPK telah menetapkan lima koleganya sebagai tersangka. Mereka adalah Komisrais PD Aneka Usaha Adi Jumal Widodo, Pj Sekda Slamet Masduki, Kepala BPBD Sugiyanto, Kadis Kominfo Yanuarius Nitbani dan Kadis PU Muhammad Saleh.
Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, Mukti menjual jabatan dengan tarif antara Rp 60 juta sampai Rp 350 juta. “Tergantung posisi jabatannya,” ujar Firli.
Menurut Firli, Adi Jumal Widodo adalah orang kepercayaan Mukti yang ditugaskan untuk mengutili uang dari para calon pejabat itu. Sedangkan empat tersangka lainnya adalah calon pejabat yang sudah nyetor uang ke Adi Jumal Widodo.
Firli menambahkan, total yang yang diterima Mukti dari Adi Jumal dari hasil jual beli jabatan sebesar Rp 4 miliar. “Ada sisa uang sebesar Rp 2,1 miliar yang masih kita dalami sumbernya dari mana,” ujarnya.
Lalu sebelum diringkus KPK, di gedung DPR RI dengan siapakah Mukti telah bertemu dan untuk kepentingan apa? Hingga tulisan ini dibuat, KPK belum memberikan penjelasan yang pasti.
Firli hanya menyatakan KPK tahu dengan siapa Mukti bertemu. Cuma untuk menjadikan anggota DPR RI itu tersangka, KPK belum menemukan bukti permulaan yang cukup. (tor) editor: mridwan