BISNIS media telah mengalami perubahan struktur dan kultur yang luar biasa. Definisi jurnalisme terkoyak oleh kepentingan bisnis. Cara bermainnya mesti ikut berubah. Ini kalau ingin untung. Biang keroknya tentu apalagi kalau bukan revolusi IT dan media sosial (Medsos), seperti Google, Facebook, Twitter, instagram dan whatsapp.
Dunia sudah sangat berubah. Yang kini berada di puncak piramida kebudayaan adalah mereka yang menggenggam big data. Mereka tidak hanya bisa mengatur semua hal. Tapi bisa mendikte kepada siapapun sesuai apa yang dia inginkan.
Atau mereka yang secara revolusioner mengikuti alur perubahan itu. Secara detail. Bakal bisa bertahan. Siapa saja yang lentur menghadapi arus perubahan itu, dia akan selamat dari terjangan arus besar perubahan ini.
“headlinetoday.id memutuskan untuk tidak mengusung jurnalisme lendir. Jurnalisme yang hanya memikirkan bisnis dengan menafikkan esensi jurnalisme itu sendiri.”
Dan revolusi ini nyaris terjadi di semua lini kehidupan. Beberapa sudah bertumbangan, ketika mencoba bertahan dengan cara lama, untuk melawan perubahan itu.
Dibisnis transportasi, kelompok Blue Bird nyaris terjungkal, kalau tidak segera memutuskan untuk berkolaborasi dengan Gojek dan Grab. Para taipan properti seperti Sinar Mas Group, Lippo Group, Sedayu Group juga sempat oleng. Karena tiba-tiba muncul pemain baru, anak-anak milenial, yang bermodalkan android bisa meraup untung miliaran rupiah. Dengan modal seadanya. Dan masih banyak lagi ancaman kebangrutan di hampir semua lini. Seperti perbankan, bisnis transportasi, tambang dan sebagainya.
DUNIA MEDIA
Dunia jurnalisme sebenarnya lebih babak belur. Tantangan media tidak hanya soal munculnya media-media on line. Tapi juga keberadaan medsos yang seolah melegitimasi bahwa siapapun bisa menjadi jurnalis.
Secara bisnis media cetak memang pada kelojotan. Kompas group mereview model bisnisnya ke on line. Koran Tempo menutup edisi cetaknya sejak tiga tahun yang lalu. Majalah Tempo bisa bertahan tapi dengan halaman yang sangat tipis. Koran semua ke on line. Karena masa depan bisnis media ada di on line.
Media juga diterpa gelombang hoax yang luar biasa. Biang masalahnya adalah ketika medsos melegitimasi siapapun bisa jadi jurnalis. Mereka lupa bahwa jurnalistik ada kode etik yang mesti dijunjung tinggi.
Bagi awak media yang ingin berbisnis media mesti pandai-pandai merumuskan ulang model bisnisnya. Perubahan arus besar IT dan medsos serta oligarki Google mesti diikuti dengan was-was. Tentu tanpa meninggalkan karya jurnalisme yang tetap punya kredibilitas.
Yaitu jurnalisme yang tidak netral, karena mesti selalu membela kebenaran dan berpihak kepada kepentingan orang banyak. Jurnalisme antikorupsi. Jurnalisme yang menanggap fakta adalah suci. Dan jurnalisme yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Newsjateng.id hadir untuk mengembalikan roh jurnalisme yang sesungguhnya. Tanpa menafikan arus besar perubahan di dunia IT dan Medsos. Kami memutuskan untuk melawan jurnalisme lendir yang hanya berorientasi bisnis dengan mengabaikan nilai-nilai jurnalisme itu sendiri. editor : gsoewarno